Hari ini, Minggu (28/8), mendapat share berita pembukaan Rapat Kerja (Raker) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Wilayah Jawa Timur oleh Gubernur Jawa Timur, Pakde Karwo. Yang menarik dari berita yang dishare tersebut bukan soal Rakernya, tapi sambutan Pakde yang disampaikan saat membuka Raker tersebut. (berita disini)

Membaca sambutan Pakde diberita tersebut, membawa pikiran saya melayang kepada pejuang ekonomi kerakyatan, yang baru saja meninggalkan kita, Bang Adi Sasono, yang tidak pernah lelah berjuang secara konsisten mewujudkan pasal 33 UUD 1945, yang diikrarkan saat bangsa ini menyatakan diri berdaulat, bahwa ekonomi negeri ini disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Alfatihah untuk Bang Adi.

Pakde dengan lugas dan begitu fasih –tentu karena beliau tidak sekedar berbicara tapi juga mempraktiknya dalam kebijakan di Jatim, menekankan pentingnya kita kembali pada Ideologi ekonomi kerakyatan yang sudah kita ikrarkan tersebut. Dengan gamplang Pakde memperlihatkan bahwa Liberalisasi telah “memakan” kita. Liberalisasi telah makin memperbesar disparitas ekonomi rakyat, satu persen penduduk negeri ini menguasai lebih dari 50% aset negeri. Kita berada dijurang konflik sosial jika ini terus dibiarkan.

Sebagai warga Jatim, saya layak bersyukur, punya pemimpin yang begitu paham tentang ekonomi kerakyatan. Bukan sekedar paham, tapi selaras laku dan perbuatannya dalam membuat kebijakan di Jawa Timur. Saya berharap, -rasanya seluruh warga Jatim juga berharap yang sama, semoga para Bupati yang hadir dalam Raker tersebut tidak hanya sekedar mangut-mangut seperti mahasiswa di kelas yang mendengarkan kuliah dosennya, tapi betul-betul memahami, bahwa tidak boleh lagi “memunggungi” apa yang jadi amanat Konstitusi, Ekonomi Kerkayatan; ekonomi yang disusun berasaskan Kekeluargaan.

Saat bersamaan, dalam sebuah WAG (WhatsApp Group, group diskusi di WhatsApp), muncul diskusi terkait prestasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang meluncurkan mobil Listrik, dan Universitas Airlangga (UNAIR) yang berhasil mengembangkan vaksin. Kedua Perguruan Tinggi (PT) tersebut perlu didukung agar karyanya mewujud dan bisa diluncurkan ke pasar sebagai karya anak bangsa yang tidak kalah dengan bangsa lain.

Dukungan kepada hasil riset anak negeri ini diantaranya adalah dukungan pendanaan agar hasil riset dapat terus dikembangkan dan pada ujungnya dapat diproduksi untuk dilempar ke pasar. Jika Riset tersebut hanya menjadi barang produk laboratorium, kemanfaatannya tidak akan berdampak luas bagi masyarakat dan akhirnya hanya sebatas kebanggan telah menemukan sesuatu tapi tidak bisa diproduksi sebagai solusi persoalan ditengah masyarakat.

Dalam pandangan saya, apa yang disampaikan Pakde soal ekonomi kerakyatan, dan perihal Riset Mobil Surya ITS dan Riset Vaksin Unair, adalah dua hal yang saling berkait. Yang satu merupakan jawaban atas yang lain.

Ekonomi kerakyatan adalah wujud kemandirian rakyat dalam bidang ekonomi sementara hasil riset anak negeri, karya anak negeri, adalah wujud keinginan untuk Mandiri dalam produk sendiri. Keduanya inilah yang bisa terus menggelorakan Nasionalisme, kebanggaan sebagai bangsa berdaulat, Indonesia.

Yang selalu menjadi soal dalam riset perguruan tinggi adalah tersedianya pendanaan yang cukup dan berkelanjutan, sehingga riset dapat menjadi produk yang akhirnya siap dilempar kepasar. Banyak pihak kemudian menggagas agar ada kerjasama antara dunia Bisnis dengan Perguruan Tinggi. Kalangan Bisnis mensupport pendanaan, kemampuan produksi dan pemasaran sementara PT berfokus pada riset produknya.

Hemat saya kerjasama antara Pebisnis dengan PT ini bagus namun tidak lah ideal jika melihat kondisi Industri dalam negeri, juga perilaku dunia Bisnis yang cenderung berorientasi untung-rugi. Sementara Riset PT lebih banyak berfokus pada menghasilkan produk yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat sebagai idealisme, bukan sekedar hitungan untung-rugi.

Nah disinilah hemat saya, apa yang disampaikan Pakde, kembali ke Pasal 33 UUD 1945, menjadi solusi. Solusi untuk pendanaan Riset PT tersebut adalah pasal 33, yang telah bertahun-tahun kita punggungi. Sebuah “Jimat Sakti” untuk membangun ekonomi kerakyatan yang dilupakan. Yang tersimpan hanya sebagai barang pusaka yang di”delok-i” hanya sesekali waktu saat kontes “benda-benda Pusaka”, hanya sekedar dikagumi tanpa dimanfaatkan kesaktiannya.

Solusi tersebut adalah apa yang ada dalam pasal 33 tersebut dikatakan ekonomi sebagai usaha bersama yang berasas kekeluargaan. Asas yang tidak menekan keluarganya “payback” sesegera mungkin, tapi asas yang ingin sebagai keluarga bisa sejahtera bersama-sama. Wujud Solusinya adalah bergotong royong membantu Unair dan ITS mewujudkan risetnya menjadi produk yang siap dilempar ke pasar.

Dalam konsep badan hukum maka wujud ekonomi Kerakyatan yang merupakan usaha bersama, dengan tujuan yang sama, serta berasas kekeluargaan tersebut adalah KOPERASI.  Sebuah badan hukum yang bukan kumpulan modal tapi kumpulan orang dengan tujuan yang sama. Inilah benda pusaka sakti yang selama ini hanya kita simpan di peti dan dalam beberapa hal digunakan dengan cara yang salah.

Andai kita membangun Koperasi yang tujuannya membantu riset ITS dan Unair tersebut, -juga riset-riset anak negeri lainnya, maka kita bisa mengkapitalisasi potensi pendanaan rakyat dengan cara bergotong royong. Tidak hanya sekali kita mengkapitalisasi potensi dana masyarakat tapi dapat terus menerus sehingga pendanaan Riset pun akan kontinyu diterima PT dan tak bergantung pada satu-dua pihak.

Misal kita membentuk Koperasi Pendanaan Riset Jawa Timur untuk membantu riset-riset ITS, Unair serta PT/PTS di Jatim. Dari 34 jutaan penduduk di Jawa Timur saat ini, masa kita tidak mampu mengajak 1 juta warga Jatim untuk bergotong royong menjadi anggota Koperasi ini.  Masa tidak ada 1 juta warga Jatim yang mampu menyisihkan Simpanan Pokok hanya Rp200.000,- sekali seumur hidup, dan menyisihkan setiap bulan Rp25.000,- ,hanya senilai sebungkus rokok, sebagai Simpanan Wajib.

Anggaplah kita tidak bisa galang kekuataan rakyat sebanyak 1 juta orang, hanya 100 ribu warga Jatim yang mampu dan mau bergotong royong menjadi anggota Koperasi Pendanaan Riset Jawa Timur, saya rasa jumlah itupun cukup untuk mendanai Riset ITS dan Unair secara berkesinambungan.

Jika 100 ribu anggota menyimpan Simpanan Pokok sebagai anggota sebesar Rp200.000,- maka Koperasi sudah mampu menggalang dana awal dari anggota senilai Rp20 Milyar. Dana yang bisa langsung disalurkan ke ITS dan Unair melanjutkan risetnya, cukup besar untuk memompa semangat periset meneruskan karyanya.

Sementara dari Simpanan Wajib yang dikumpulkan secara bergotong royong, hanya seharga sebungkus rokok, sebulan sekali sebesar Rp25.000, bisa terkumpul dana sebesar Rp2,5 Milyar setiap bulan. Dana yang cukup besar untuk terus mendanai operasi riset di ITS dan Unair. Dan keseluruhan dana itu tidak akan membuat ITS dan Unair harus “tertekan” dikejar target bisnis, apalagi sampai menjual idealisme untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi rakyat.

Disisi lain, anggota yang bergotong royong hanya senilai Rp200.000 sekali seumur hidup dan Rp25.000,- sekali sebulan, tidak akan merasa “kehilangan” uang yang nilainya kecil tersebut tapi jika diakumulasikan sebagai gabungan kekuatan ekonomi rakyat, jumlahnya sangat luar biasa. Sebuah kekuatan dana yang tidak sembarang perusahaan mampu mengucurkannya secara rutin dan menganggap sebagai “uang hilang” dengan ikhlas.

Suatu saat nanti, saat hasil riset ITS dan Unair tersebut sudah layak produksi maka anggota Koperasi Pendanaan Riset Jawa Timur yang berjumlah 100.000 orang tersebut, tidak terasa akan mendapatkan manfaat, baik secara ekonomi maupun kebanggan karena telah ikut serta melahirkan produk anak negeri.

Dan bayangkan lagi, bahwa 100.000 anggota Koperasi tersebut adalah juga Market, adalah juga calon pelanggan dari produk yang dihasilkan dari hasil riset ITS dan Unair tersebut, dampaknya akan sangat luar biasa !

Produk hasil riset ITS dan Unair tersebut akan bisa langsung dijual kepada anggota, tidak perlu promosi besar-besaran yang menghabiskan dana Milyaran. Bayangkan mudahnya produk ini diserap pasar karena anggota Koperasi adalah juga captive market dari produk riset.

Itulah dahsyatnya kekuatan dari pusakan yang kita simpan di peti, yang hanya sesekali kita lihat untuk sekedar dikagumi. Pusaka yang sedari awal sudah ditegaskan oleh pendiri bangsa, yang dicantumkan dalam Konstitusi negara, sebagai SOLUSI bagi Kemandirian Ekonomi, yaitu Ekonomi kerakyatan berasas kekeluargaan, KOPERASI.

Masihkan kita akan memunggungi ekonomi kerakyatan, Koperasi ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here