Tri Rismaharini, Walikota Surabaya pada 9 Juli mengatakan di meja kerjanya ada 2.000-an berkas warga miskin yang gagal masuk sekolah negeri melalui jalur mitra warga karena nilainya yang rendah. Berkas tersebut akan diproses Risma untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah negeri di Surabaya ().  Sementara sistem PPDB online yang jadi rujukan informasi dan seleksi siswa baru sudah ditutup dan tidak lagi bisa diakses sejak 5 juli 2015.

Dari niat dan tujuannya, apa yang dilakukan Risma ini layak diapresiasi, karena Risma responsif atas keluhan masyarakat dan persoalan pendidikan warganya. Namun niat dan tujuan yang baik pun harus dilakukan dengan cara-cara yang benar dan sesuai dengan peraturan terkait penerimaan siswa baru di Surabaya (PPDB) yang aturannya merujuk pada Perwali nomor 47 tahun 2013. Apalagi Surabaya telah menyiapkan mekanisme PPDB melalui sistem Online yang transparan dan sudah diketahui oleh semua warga Surabaya sebagai sumber rujukan informasi dan proses seleksi dalam penerimaan siswa baru di Surabaya.

Akuntabilitas tidak mungkin tercapai jika Transparansi tidak dilakukan.

Hemat saya, semestinya Risma harus tetap taat asas, taat aturan yang sudah dibuat (Perwali 47/2013). Tentu kita apresiasi perhatian walikota terhadap anak2 kita, yang tidak diterima pada PPDB yang lalu, apalagi jika siswa miskin.

Tapi jika prosesnya tidak transparan tentu hasilnya sulit dipertanggung jawabkan. Jangan sampai ada kecurigaan di masyarakat ada titipan dalam proses seleksinya. Apalagi PPDB yg sebelumnya sudah berlangsung sangat transparan, warga dapat memantau siswa-siswa yang mendaftar dan siswa yang diterima, sesuai ketentuan dan syarat penerimaan yang ada.

Siapa yang menseleksi? bagaimana seleksinya? Sudahkah semua warga mendapat kesempatan? hal ini juga sangat penting dijelaskan.

Dalam penerimaan peserta didik di Surabaya, sesuai Perwali 47 tahun 2013, terdapat 4 asas yang harus diikuti, yaitu; Asas Objektifitas, Transparansi, Akuntabilis, dan tidak Diksriminatif (pasal 75)

Objektif artinya penerimaan peserta didik harus berlandaskan peraturan yang ada, berlandaskan perundang-undangan yang berlaku, bukan berdasarkan subjektifitas Walikota atau siapapun.

Tranparansi artinya mengharuskan setiap informasi harus terbuka dan diketahui oleh warga Surabaya dan dalam hal seleksi yang dilakukan lewat meja walikota jelas tidak ada dalam sistem penerimaan peserta didik di Surabaya serta tidak semua warga mengetahui karena tidak dicantumkan di website PPDB Online Surabaya.

Akuntabilitas artinya dalam penerimaan peserta didik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik sisi prosedur maupun hasilnya. Nah masalahnya bagaimana mau akuntable jika Tranparansi saja tidak terpenuhi.

Yang juga amat penting adalah asas tidak Diskriminatif yang mana jelas di Perwali yang kita punya tersebut mengatakan termasuk tidak diskriminatif dalam membedakan status sosial dan ekonomi, semua warga harus diberi peluang yang sama.

Apakah semua asas ini sudah dipenuhi saat Walikota menerima siswa baru melalui mekanisme diluar PPDB Online yang sudah diterapkan?

Hemat saya, sangat jelas asas-asas tersebut terlanggar dalam mekanisme penerimaan siswa lewat meja Walikota yang diluar sistem PPDB yang sudah ditetapkan. Dalam negara hukum, jika asas hukum saja sudah terlanggar tentu bisa dipastikan norma aturan yang diatur akan terlanggar dengan sendirinya.

Jika penerimaan melalui meja Walikota tersebut tidak taat asas, maka bisa dipastikan tidak taat aturan. Jika sudah tidak taat aturan artinya tidak taat hukum. Jika ini terjadi maka dalam konstruksi negara hukum maka sesungguhnya sudah melanggar konstitusi bahwa kita adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) bukan berdasar atas Kekuasaan (Machssaat), walau sebaik apapun niat dan tujuannya.

Saya khawatir jika kita sudah permisif dengan kebiasaan yang tidak taat aturan, tidak taat hukum dan membiarkan pimpinan kota menggunakan pendekatan kekuasaan (Machssaat) dalam melakukan sesuatu kebijakan/program maka sesungguhnya kita membiarkan pemimpin kota kita menjadi otoriter. Dan ciri otoriter itu adalah saat dilanggarnya pranata aturan-aturan yang dibuat, saat Rule of Law tidak lagi ditaati.

Untuk menghindari hal tersebut maka sudah semestinya institusi-institusi yang mewakili kepentingan warga harus bersuara, mengkritisi, memberitahu bahwa tindakan walikota melanggar aturan, melanggar Perda 47 tahun 2013 yang dibuat sendiri oleh Walikota. Jika hanya diam, sama saja menjerumuskan Walikota Risma menjadi otoriter dan tentu hak-hak warga untuk mendapatkan perlakuan yang adil bisa terlanggar.

Semoga niat baik, tujuan baik tetap dilakukan sesuai dengan aturan yang ada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here