Di dunia pendidikan Indonesia sangat terkenal istilan dimasyarakat terutama kalangan pendidik “ganti Menteri ganti kebijakan, ganti Pejabat ganti program”. Hal ini muncul karena seringnya terjadi perubahan kebijakan, perubahan program, bahkan arah pengembangan pendidikan nasional, seiring dengan bergantinya Menteri yang berkuasa di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan dalam konteks lebih kecil, bergantinya pejabat eselon seperti seorang Dirjen, bisa jadi berganti pulalah kebijakan dibidang yang dibawahinya.
Dan seperti biasanya pergantian kebijakan tersebut umumnya menjadi perdebatan ditengah masyarakat. Apalagi ditambah dengan kenyataan pergantian kebijakan kebanyakan untuk hal hal yang debatable, sesuatu yang sering sekali berbeda bahkan bertolak belakang dengan program atau kebijakan sebelumnya. Padahal program yang diganti tersebut dulunya juga menjadi perdebatan berkepanjangan dan seperti biasanya Menteri yang saat itu berkuasa “Show must Go On”.
Yang jadi korban bisa ditebak, peserta didik, orang tua dan juga tenaga pendidik yang harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kebijakan baru yang dikeluarkan.
Di akhir masa Pemerintahan SBY diperiode kedua ini, kembali Kementerian Dikbud mengeluarkan beberapa perubahan kebijakan, seperti penghapusan UN Sekolah Dasar, penerapan kurikulum thematik, dan terakhir mewacanakan penghapusan kelas Akselerasi (berita disini). Dalam keterangannya, Staf Ahli Mendikbud Bidang Organisasi dan Manajemen Abdullah Alkaff mengatakan, Kemendikbud memiliki alasan yang mendasar dalam rencana penghapusan kelas akselerasi. Alasan tersebut adalah kelas akselerasi menampung siswa yang hanya pandai dalam beberapa mata pelajaran. “Ambil contoh, siswa itu hanya pandai di matematika atau mata pelajaran eksak lain. Tidak bisa seperti itu karena mata pelajaran lain juga penting,”
Wacana ini dengan alasan yang dikemukakan (seperti biasanya) sarat dengan alasan yang debatable. Tidak menukik kepada sesuatu yang mendasar dari tujuan yang ditetapkan sebelumnya, alasan kenapa diperlukan diadakan kelas Akselerasi.
Sebagaimana diketahui kelas akselerasi bertujuan untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensia tinggi dalam kelas khusus dengan bimbingan khusus juga pengajaran dengan metode khusus, agar kemampuan anak didik tersebut dapat dipacu secara maksimal. Munculnya kelas akselerasi untuk mengantisipasi hilangnya kemampuan anak anak yang mendapat anugerah khusus-“gifted”, karena ditangani dengan metode sama dengan anak anak normal lainnya. Anak khusus ini ditandai dengan IQ yang tinggi diatas anak anak normal, umumnya anak dengan IQ 130 keatas. Dan yang lebih penting lagi, dikelas Akselerasi anak dengan kemampuan khusus tersebut diasah kemampuannya dalam hal kreativitas, kemampuan imaginasi dan innovasi nya.
Jika dilihat dari alasan diadakannya kelas Akselerasi tersebut, akan dapat dipahami bila anak memang mahir, cekatan dan sangat cerdas dalam satu dua mata pelajaran dan normal saja di mata pelajaran lain. Karena tidaklah kelas akselerasi khusus tersebut bertujuan untuk menjadikan anak super pintar disemua mata pelajaran.
Semestinya kementerian pendidikan jika akan merubah kebijakan ini harus kembali mengkaji pada alasan mendasar kenapa diadakan kelas ini, dan kemukakan kajian terbaru kenapa tidak diperluakan lagi kelas Akselerasi, tentunya dengan standar pengambil keputusan yang dapat diukur dan dibuktikan dengan bukti bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan pada alasan alasan yang debatale, apalagi jika alasan tersebut karena penerapan yang salah atau tidak sesuai dengan tujuan diadakannya kelas Akselerasi. Seperti keterangan Dirjen Pendidikan Menengah (Dikmen) Kemendikbud Hamid Muhammad pada mei 2013 lalu (baca berita disini) yang mengatakan, “menjamurnya sekolah yang membuka kelas akselerasi ini tidak diikuti dengan kualitas hanya sebatas proyek karena anak-anak yang masuk kelas ini ada yang dikenakan biaya lebih tinggi dari yang lain”. Juga alasan sekolah menerapkan aturan penerimaan berdasarkan tingkat IQ yang tidak seragam, ditambah adanya kecurigaan manipulasi sekolah dalam hal penentuan IQ dari calon peserta kelas akselerasi.
Mungkin untuk kali ini, ada baiknya kemendikbud mengkaji dengan dalam wacana perubahan kelas Akselerasi ini. Jangan jadikan alasan ketidak mampuan mengawasi, ketidak tegasan dalam menegakan aturan, “kenakalan” pihak sekolah, sebagai tolak ukur merubah kebijakan yang sudah berjalan dan dapat diterima di masyarakat. Pengkajian yang mendalam, dilandasai kajian akademis dan fakta fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga kedepan tidak akan lagi sindiran “ganti Menteri ganti kebijakan, ganti pejabat ganti program”