Saat ini sedang banyak pro-kontra soal Islam Nusantara. Saya termasuk yang diawal merasa janggal dengan istilah ini. Apalagi kemudian muncul narasi-narasi “bukan Islam Arab”, “jenggot”, dan sejenis. Makin janggal lah saya rasakan istilah Islam Nusantara ini.

Tapi, di tengah kejanggalan, saya tidak menutup diri. Saya terus mencoba menggali dengan mendengar dan membaca tulisan-tulisan ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang menjelaskan soal “Islam Nusantara”.

Perlahan, saya memahami bahwa yang dimaksud Islam Nusantara itu justru adalah Islam itu sendiri, dan bagaimana Islam itu disebarkan, diajarkan dan diamalkan di Nusantara. Yang elastis menyerap budaya dan adat istiadat yang lebih dahulu ada. Juga yang lentur menghadapi berbagai perbedaan yang muncul di Nusantara ini, dan dengan ciri-ciri khasnya sendiri.

Tentu saya bukanlah orang yang tepat menjelaskan apa itu Islam Nusantara. Namun dari berbagai bacaan yang saya gali, penggunaan istilah Islam Nusantara ini, sama dan sebangun dengan istilah Islam Berkemajuan yang digagas Muhammadiyah. Dimana, Islam Berkemajuan tidaklah bermakna agama baru, Islam yang baru pengganti Islam yang mundur, tapi adalah gagasan; “Islam yang mampu beradaptasi, mengakomodasi serta menyesuaikan diri secara tegas dengan dinamika zaman” (Prof Din Syamsuddin).

Pun begitu juga Islam Nusantara, bukan agama atau aliran baru yang saat ini sering dituduhkan beberapa kalangan.

—-0000—–

Saya prihatin, karena begitu banyaknya penolakan terhadap gagasan Islam Nusantara ini. Yang jika dibaca dari penjelasan KH Ma’ruf Amin, Rais Aam PBNU sekaligus Ketua Umum MUI, tidaklah ada yang patut dikhawatirkan berlebih, seperti dituduh beberapa kalangan akan merusak aqidah umat.

Tulisan Rais Aam PB Nahdalatul Ulama, KH Ma’ruf Amin tentang Islam Nusantara.

Apalagi kemudian saya menemukan, ternyata penggunaan istilah Islam Nusantara ini, ternyata tidak hanya monopoli Nahdlatul Ulama.

Jauh sebelum Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang yang secara resmi mengusung Islam Nusantara lewat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, PKS sebagai partai politik yang menyatakan berideologi Islam, ternyata telah lebih dahulu menggunakan istilah Islam Nusantara dalam dokumen resmi platform partai yang dikeluarkan tahun 2008.

Di dalam dokumen platform PKS yang diberi judul “Memperjuangkan Masyarakat Madani” yang berisi “FALSAFAH DASAR PERJUANGAN DAN PLATFORM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PKS” tersebut, setidaknya saya temukan 3 kali istilah Islam Nusantara digunakan, yang pengertiannya tidak jauh berbeda dengan apa yang berkali-kali dijelaskan ulama-ulama NU.

Salah satu pemaknaan Islam Nusantara oleh PKS berbunyi “Dalam Orde Baru, Islam tidak boleh memberikan warna untuk dirinya sendiri dengan leluasa, apalagi kepada yang lain. Yang dipromosikan adalah nasionalisme nonIslam, nasionalisme Gajahmada-Majapahit yang mencontohkan persatuan dengan penaklukan kekerasan, bukan sejarah penyebaran Islam Nusantara yang dialogis, damai dan lebih moderen. Padahal, bangsa Indonesia menegakkan NKRI dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model persatuan Majapahit tersebut.”

Persis dengan yang dimaksud NU dalam gagasan Islam Nusantara-nya. Dimana Islam Nusantara itu berciri dialogis, damai dan menerima perbedaan.

Jadi, dengan fakta ini, rasanya, dari pada kita terus berselisih apalagi sampai menolak seperti yang dilakukan MUI Sumbar, hemat saya, ada baiknya kita sama-sama saling mendengar, berdialog, dengan tujuan untuk saling memahami, saling menghargai, pun jika ujungya tetap ada perbedaan.

Dini hari, 3 Agustus 2018
FK

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here