Hans Kelsen mengatakan dalam teorinya yang dikenal sebagai Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie) bahwa Norma yang lebih rendah berlaku dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusmya hingga sampai pada norma yang tidak bisa ditelusuri lebih lanjut yang dinamakan sebagai norma dasar (Grundnorm). Norma dasar merupakan norma tertinggi dari suatu sistem norma yang ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat dan menjadi gantungan dari semua norma yang ada dibawahnya, sehingga norma dasar itu dikatakan pre-supposed[1].
Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie) kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky, murid Hans Kelsen, dalam kaitannya dengan negara.
Menurut Hans Nawiasky dalam teori jenjang hukum yang ia kembangkan (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) norma hukum dari suatu negara berjenjang-jenjang dan bertingkat-tingkat, dimana norma yang dibawah berlaku dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar pada norma tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm pada teori Hans Kelsen). Selain berjenjang dan bertingkat norma hukum menurut Hans Nawiasky juga berkelompok, dimana pengelompokannya sebagai berikut[2];
- Kelompok I :Norma Dasar/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor)
- Kelompok II : Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
- Kelompok III : Undang-Undang Formal (Formell Gesetz)
- Kelompok IV : Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
Teori norma hukum berjenjang dan berkelompok (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) Hans Nawiasky ini jika diproyeksikan ke Norma hukum yang berlaku di Indonesia maka akan diperoleh pengelompokan hirarki sebagai berikut[3];
- Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) Indonesia adalah Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Sehingga seluruh perundangan dibawahnya harus merujuk ke norma dasar ini (Hans Kelsen),
- Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Indonesia adalah batang tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR RI dan Konvensi Ketatanegaraan,
- Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Indonesia adalah Undang-Undang,
- Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) Indonesia adalah secara hirarkis mulai Peraturan Pemerintah, hingga keputusan Bupati/Walikota.
Sementara merujuk pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka hirarki perundangan di Indonesia adalah sebagai berikut[4];
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari perundangan di Indonesia sesuai dengan hirarki tersebut[5]. (berlaku asas Lex Superior derogat legi inferiori)
Selain perundangan dalam hirarki tersebut, di Indonesia juga berlaku perundangan lainnya yang dibuat oleh lembaga tinggi negara maupun lembaga negara lainnya, yang keberadaannya diakui sesuai peraturan perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk sesuai kewenangan[6].
Berdasarkan teori hirarki dan pengelompokan ini ditegaskan bahwa norma dan aturan perundangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan norma atau aturan yang lebih tinggi. Dalam hal UU 23/2014 maka tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai aturan pokok Negara, dan tidak bertentangan juga dengan norma dasar (Grundnorm) atau Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) yaitu Pancasila dan pembukaan UUD NRI.
__________________________________________
[1] Maria Farida Indrati Soeprapto. 2010. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, hal 41
[2] Ibid, hal 44 – 45.
[3] Jimly Asshiddiqie. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hal. 171.
[4] Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, BAB III, Pasal 7 ayat 1.
[5] Ibid, BAB III, Pasal 7 ayat 2.
[6] Ibid, BAB III, Pasal 8 ayat 1 dan 2.