Disitulah beda utamanya dengan Production Sharing Contract (PSC) di industri Migas. Kalau kontrak PSC berakhir atau tidak diperpanjang maka seluruh aset dari pemegang kontrak PSC jadi milik negara, tentu juga dengan wilayah kerja pemegang kontrak PSC.
Koq bisa begitu?
Karena, dalam kontrak PSC dikenal apa yang dinamakan cost recovery. Dimana selama kontrak berjalan, seluruh pengeluaran kotraktor PSC terkait operasinya untuk berproduksi, termasuk pembelian aset-asetnya, diganti oleh pemerintah lewat skema cost recovery.
Cost recovery dibayar negara setiap tahun, lewat hasil produksi. Disinilah ada kelemahan kontrak PSC, dimana jika biaya produksi (OPEX dan DDA) lebih besar dari hasil produksi, pemerintah bukannya untung malah buntung. Karena mau-tidak mau cost recovery harus dibayar pemerintah kepada pemegang PSC. Biasanya terjadi pada wilayah kerja yang sudah menipis cadangan migasnya, tapi kontrak masih berjalan.
Berbeda dengan KK, jika kontrak PSC berakhir maka tidak hanya wilayah kerja migas yang dikembalikan ke negara, tapi juga seluruh aset perusahaan pemegang kontrak PSC jadi milik negara. Karena sesungguhnya aset-aset tersebut memang dibayar negara lewat cost recovery.
Contoh kotrak PSC Caltex di Riau, dan Total di blok Mahakam.
Sementara, jika KK PTFI berakhir pada tahun 2021 atau tidak diperpanjang, bukan berarti PTFI dan aset perusahaan tersebut jadi milik negara. Tapi tetap milik Freeport McMoran (entitas hukum AS), karena aset tersebut memang dibeli dengan uang PTFI sendiri. Hanya lokasi tambang (wilayah kerja) yang kembali ke Indonesia. Dan jika Indonesia mau nambang di lokasi tersebut, ya harus beli alat tambang baru.
Keuntungan menggunakan kontrak jenis KK dibanding PSC, sederhananya, negara tidak akan beresiko “buntung” jika biaya produksi pemegang KK lebih tinggi dari hasil produksinya, termasuk negara tidak cawe-cawe urusan investasinya.