Tulisan Ahmad Faiz Zainuddin di akun facebooknya yang berjudul “Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta dan Ramah”, ditulis sehari pasca peristiwa peledakan bom di tiga gereja di Surabaya pada Ahad, 13 Mei 2018 yang lalu.

Entah apa yang ada di benak Faiz, dan yang ingin ia sampaikan dengan judul demikian. Bagi saya, judul itu kuat kesan memberi pesan bahwa Islam itu muram dan seram, dan Faiz lewat tulisannya ingin menawarkan gagasan menuju Islam cinta dan ramah.

Penjudulan ini saja menurut saya menarik, menimbulkan kontroversi. Wajar jika kemudian menjadi viral.

Apalagi setelah membaca isi, yang kesimpulannya langsung memvonis Seksi Kerohanian Islam (SKI) atau dikenal juga dengan sebutan Rohis di SMA dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di Perguruan Tinggi, sebagai tempat penyebaran bibit-bibit radikal, yang akhirnya melahirkan pelaku pembom gereja, dalam kasus bom Surabaya berinisial DT.

Walau banyak isinya yang kemudian dikoreksi oleh Faiz, tapi kesimpulan yang ingin disajikan Faiz tetap saja sama, sebuah vonis untuk Rohis dan LDK sebagai tempat benih-benih ekstrimisme disemai.

—000—

Dalam awal tulisannya, Faiz mencoba meyakinkan pembaca bahwa DT adalah orang yang ia kenal dengan menulis “Dita Supriyanto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91”. Walau tulisan ini kemudian diedit oleh Faiz (termasuk salah nama pelaku), tapi tetap saja isinya sengaja digunakan Faiz untuk klaim bahwa apa yang ia sampaikan di kalimat-kalimat berikutnya adalah fakta-fakta yang benar terjadi, untuk mendukung kesimpulannya.

Jika dicermati, ada kuat kesan Faiz sedang berfantasi (kalau tidak boleh dikatakan berbohong) terkait kesan ia mengenal DT saat masih bersekolah di SMAN 5 Surabaya.

DT lulus pada tahun 1991, sementara Faiz lulus tahun 1995, sama-sama di SMAN 5 Surabaya. Artinya saat DT lulus pada 91 (tahun ajaran 90/91), Faiz tentu saat itu baru naik ke kelas 3 SMP.

Baru pada tahun ajaran 1992/1993 Faiz bersekolah di SMAN 5 Surabaya. Artinya saat Faiz masuk di SMAN 5 Surabaya, DT sudah meninggalkan sekolah itu selama 1 tahun. Tentu Faiz tidak pernah berinterkasi dengan DT, apalagi tahu bagaimana kegiatan DT di Rohis selama bersekolah di SMAN 5.

Faiz kemudian mengkoreksi tulisannya menjadi “DT adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91 dan FE UNAIR Surabaya“. Saya duga koreksi ini ingin membuat kesan Faiz mengenal DT saat sama-sama kuliah di FE Unair.

Lagi-lagi, menurut saya, Faiz sedang berfantasi. Karena saat Faiz lulus dari SMA pada tahun 1995 (tahun ajaran 94/95), saat itu DT justru sudah tidak lagi kuliah di Unair karena drop out.

Sesuai keterangan Rektor Unair yang menyebut DT hanya mengambil 47 SKS dan drop out, maka bisa diperkirakan DT telah droup out pada tahun ajaran 93/94, atau setelah kuliah di Unair selama maksimal 2 tahun (4 Semester), ingat DT masuk Unair tahun ajaran 91/92.

Sementara Faiz baru tahu bangku kuliah di FE Unair pada tahun ajaran 95/96. Jadi tidak mungkin Faiz bertemu dan kenal DT dalam kegiatan di LDK Unair (Rektor Unair juga menegaskan DT tidak pernah ikut kegiatan kemahasiswaan).

Nah, melihat hal itu, bisa dipastikan Faiz tidak pernah berinteraksi dengan DT di lingkungan sekolah saat di SMAN 5, maupun di lingkungan kampus di FE Unair. Juga bisa dipastikan Faiz tidak mengenal dan tidak beriteraksi dengan DT di kegiatan Rohis SMAN 5, maupun di kegiatan LDK Unair.

Lantas, dimana sesungguhnya Faiz beriteraksi dengan DT?

Jika membaca tulisan Faiz, kita tidak akan menemukan jawabannya, seolah ini sengaja disamarkan Faiz.

Tapi jika menyimak talk show Indonesia Lawyers Club di TV One, dimana Faiz juga menjadi narasumber, maka kita baru tahu bahwa Faiz mengenal DT di pengajian di luar sekolah (tidak jelas kapan tepatnya Faiz mulai ikut pengajian bersama DT, apakah saat masih di SMA atau setelah kuliah).

—000—

Pertanyaannya, jika tidak kenal DT dalam kegiatan di Rohis semasa SLTA, kenapa Faiz berani mengambil kesimpulan bahwa bibit radikal yang ada pada DT sudah tertanam sejak di SLTA lewat kegiatan Rohis?

Disinilah Logical Fallacy yang coba disuguhkan oleh Faiz, yang dia tutupi dengan manipulasi fakta-fakta untuk mendukung kesimpulan yang dia ambil, “Terorisme dan budaya kekerasan yg kita alami saat ini adalah panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme yg telah ditanam sejak 30-an tahun yg lalu di sekolah2 dan kampus2”.

Hanya bermodal asumi-asumsi bahwa DT adalah alumni SMAN 5 dan ikut kegiatan Rohis selama di SMA, plus perilaku ketua Rohis seangkatannya selama SMA,  Faiz mengaitkan bahwa aksi peledakan bom yang dilakukan DT akibat bibitt radikalisme yang ditanamkan saat ikut kegiatan pengajian Rohis.

Inilah yang disebut logical fallacy -kesesatan penalaran itu. Dengan kesesatan penalaran ini, Faiz telah mengarahkan telunjuk kepada kelompok kajian sekolah (Rohis) dan kampus (LDK), sebagai tertuduh tempat bibit-bibit radikalisme disemai.

Padahal sangat jelas sekali, Faiz tidak pernah berinteraksi dengan DT, baik di Rohis SMAN 5, maupun LDK Unair. Dan faktanya, Faiz justru mengenal DT di kelompok pengajian di luar sekolah, di luar kampus, bukan di pengajian yang diadakan Rohis SMAN 5 atau LDK Unair.

Tentu kita menjadi bertanya, kenapa Faiz tidak menarik kesimpulan atau setidaknya berhipotesa bahwa bibit-bibit terorisme itu ditanam di kelompok pengajian luar sekolah/kampus?

Entah apa motivasi Faiz.

—-000—

Setelah banyak dari tulisan tersebut di koreksi Faiz, saya menduga, secara sadar tulisan Faiz tersebut sedari awal dibuat untuk mendiskreditkan kelompok kajian Islam di sekolah (Rohis) dan kampus (LDK). Ditambah, banyak pihak-pihak yang disebut dalam tulisan Faiz, pada dasarnya tidak sesuai dengan gambaran yang ditulis Faiz.

Walau kemudian Faiz telah meminta maaf, tapi tulisan itu tidak dia tarik, dan masih saja nampaknya dalam permintaan maaf tersebut ia berkesimpulan sama, bahwa bibit-bibit radikalisme itu telah ditanam lama (baca disini).

Sementara itu, apa yang disampaikan Faiz soal penyebab munculnya Radikalisme dan Terorisme hanya berdasarkan asumsi-asumsi dia semata, tidak didukung fakta-fakta.

Saya ingin menyarankan agar Faiz membaca berbagai penelitian yang telah dilakukan berbagai pihak, terkait penyebab munculnya radikalisme/terorism pada seseorang atau sekelompok orang. Daripada sekedar berasumsi atau malah membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada basis penelitiannya, tidak berdasarkan fakta-fakta.

Dari hampir semua penelitian yang pernah dilakukan, diketahui bahwa penyebab utama munculnya radikalism/terorisme bukan karena ajaran agama. Ajaran agama, pemahaman pada agama, hanya dijadikan kedok atau alasan pembenar saja untuk melakukan tindakan radikalisme/terorisme.

Dari berbagai penelitian, juga yang dilakukan di Indonesia, ditemukan bahwa penyebab utama lahirnya Radikalism/terorisme dipicu oleh dua hal, yaitu persoalan ekonomi (kemiskinan) dan ketidakadilan politik.

Apa yang disebut Faiz sebagai bibit-bibit radikalisme itu tidak akan tumbuh, tidak akan bersemi jika tempat tumbuhnya, jika medianya, berupa persoalan kemiskinan dan ketidakadilan politik bisa dihilangkan.

Oleh karena itu, jika Faiz ingin tidak ada lagi radikalisme/terorisme, maka saya sarankan, mulailah Faiz bersuara lantang agar negara menunaikan kewajibannya untuk menghapus kemiskinan, dan mulai bekerja keras mensejahterakan rakyat.

Bersuara jugalah, agar negara dalam hal ini penguasa, berbuat adil pada setiap rakyat, pada setiap kelompok masyarakat yang ada di negara ini. Jika itu dilakukan, maka Insya Allah, tidak akan ada bibit radikalisme dan terorisme yang tumbuh di Indonesia.

Semoga mulai sekarang, Faiz tidak lagi bersaran yang berdampak menghentikan kegiatan Rohis atau LDK, karena sesungguhnya Rohis dan LDK itu justru akan membantu siswa/mahasiswa memahami agama dengan benar, sehingga tidak terhasut paham-paham radikal walau kondisi ekonomi menghimpitnya dan ketidakadilan politik menimpanya.

 

Surabaya, 18 Mei 2015

FK
Mantan Ketua OSIS dan mantan anggota Rohis, LDK dan kelompok kajian,
Pernah kuliah di FE Unair 1993.

 


Tulisan asli Faiz;

Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta nan Ramah

Dita Supriyanto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91

Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di surabaya. Keluarga yg nampak baik2 dan normal seperti keluarga muslim yg lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham radikal ekstrim.

Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.

Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yg lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yg lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.

Diantaranya ada juga pengajian yg isinya menyemai benih2 ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang2an. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.

Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan unt menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita unt disetor ke mereka.

Bahkan ketua Rohis saya di buku Agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi Mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara Vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak2 muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid2 pembela islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.

Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yg paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.

Dan dari semua versi tadi, yg paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yg jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar2 terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia, karena benih2 ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.

Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yg menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.

Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. Btw kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yg seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yg saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau bahkan di seluruh Indonesia.

Yg ingin saya katakan, Terorisme dan budaya kekerasan yg kita alami saat ini adalah panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme yg telah ditanam sejak 30-an tahun yg lalu di sekolah2 dan kampus2. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah yg saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.

Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yg sifatnya sembunyi2 dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.

Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dng tempat2 yg sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yg terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yg terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.

Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar2nya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.

Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.

Nyatanya memang ada saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras yg hobinya mengutip mentah2 ayat2 perang dan melupakan substansi “cinta dan kasih sayang” sebagai inti ajaran Islam.

Nyatanya memang benih2 radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak2 muda kita, di sekolah2 terbaik dan dikampus2 top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.

Kalau kita masih saja melakukan penyangkalan, maka kita ndak akan pernah berbenah diri. Tapi kalau kita insyaf bersama, Kalau kita dengan gentle mengakui – bahwa IYA memang kita sedang sakit, bahwa memang ada banyak diantara kita, dan saudara2 kita yg memahami islam versi garis keras, yg merasa bahwa islam harus diperjuangkan dengan kekerasan – maka kita bisa mulai mengambil langkah2 solutif.

Dan langkah2 solutif nyata yg bisa kita lakukan diantaranya adalah:

1. Mulai menetralisir alias melunakkan paham islam garis keras dan mulai menyebar luaskan paham islam moderat (washothiyah).

2. SMA2 dan Kampus2 harus disterilkan dari gerakn2 bawah tanah islam garis keras, diganti dengan kemeriahan dan kegembiraan aktivitas islam yg menebarkan “cinta dan welas asih” pada sesama manusia.

3. Sosial media harus dipenuhi kampanye “islam yg ramah dan penuh kasih sayang”. Bukan islam yg keras, penuh umpatan, dan kata2 kasar, apalagi hoax dan berdarah2.

4. Pertarungan politik mohon jangan lagi menggunakan isu SARA sebagai komoditas rebutan kekuasaan. Apalagi disertai kampanye hitam saling menghujat yg membuat bahkan setelah selesai Pilkada/Pilpres-nya masyarakat jadi terbelah saling bermusuhan.

5. Mawas diri dan sama2 menahan diri dalam menyikapi perbedaan2 dalam penafsiran Islam. Islamnya satu dan sumbernya sama, tapi nyatanya cara kita memahaminya bisa macem2. Dan ini fenomena psikologi yg wajar. Ayo tebarkan sikap saling memahami dan berempati, bukannnya saling curiga dan menyalahkan. Islam harus dipulihkan reputasinya dari wajah muram penuh kekerasan menjadi wajah ramah penuh Cinta pada sesama manusia.

Benar kata Muhammad Abduh, cendekiawan muslim abad 20, “Al-islamu Mahjubun bil muslimin”, Keindahan Islam ini terhijab/tertutupi oleh akhlak buruk sebagian umat islam sendiri”. Jadi mari kita yg akan bersama2 memulihkan wajah Indah Islam.

Terakhir, mari kita dengar seruan seorang remaja islam peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai:

“Peluru hanya bisa menewaskan teroris, tapi hanya PENDIDIKAN-lah yg bisa melenyapkan paham terorisme (sampai akar2nya: radikalisme, ekstrimisme)”

Stay Save.. Keep Optimism.. Spread Love & Compassion..

And for my beloved Christian brothers & sisters.. my deep condolence for all of you.. from the bottom of my heart, I am really sorry..

Love & Peace for all of us..

Saya yg sedang berduka,

Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995

link fb disini https://www.facebook.com/AhmadFaizZainuddin/posts/1090116147794565

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here