Mundurnya Abdullah Azwar Anas dari pencalonan sebagai bakal calon Wakil Gubernur (bacawagub) Jatim yang diusung PDI Perjuangan sebagai pendamping Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang diusung PKB, membuat peta politik pertarungan dalam Pilgub Jatim berubah dengan cepat. Segala kemungkinan saat ini bisa terjadi.

Baik kemungkinan PKB-PDIP tetap berkoalisi dengan diajukannya calon baru pengganti Anas, atau pun bisa juga yang terburuk (atau terbaik?), akhirnya PKB dan PDIP jalan sendiri-sendiri.

Ditengah perubahan yang demikian cepat, jelang pendaftaran pasangan calon ke KPU yang mulai hari ini, ditutup Rabu 10 Januari lusa, nama Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, kembali mencuat. Setelah sebelumnya menghilang saat PDIP akhirnya putuskan Azwar Anas lah yang akan mandampingi Gus Ipul untuk bertarung dalam Pilgub Jatim 2018.

Risma, adalah satu-satunya kader PDIP yang sebelumnya paling diharapkan untuk diusung pada perhelatan pesta rakyat lima tahunan ini. Selain popularitasnya yang tinggi, elektabilitas Risma pun ternyata mampu mendekati Gus Ipul, dan meninggalkan Khofifah di belakangnya.

Dalam survei SSC yang dirilis pada Juli 2017, ElektabilitasĀ Gus Ipul di 26,6 persen, sedangkan Risma 24,1 persen dan Khofifah di 16,8 persen. Dalam survei yang sama, Popularitas Risma juga tidak terpaut jauh dengan Gus Ipul, 22,1 : 26,3 persen, meninggalkan Khofifah 13,9 persen. Apalagi dibanding Anas yang popularitasnya hanya di 3,5 persen.

Hasil tidak jauh berbeda yang dilakukan lembaga survei lain, seperti Indikator pada bulan Juni 2017. Gus Ipul dan Risma selalu di posisi paling populer dan paling diharapkan memimpin Jawa Timur.

Dengan fakta tersebut, maka tidak mengherankan saat Azwar Anas “lempar handuk” setelah beredar foto panas yang diduga dirinya bersama seorang wanita, nama Risma kembali disebut-sebut.

Banyak pihak terutama internal PDIP, berharap Risma lah yang akan diajukan PDIP sebagai pengganti Anas. Pasangan ini dipandang jauh lebih kuat dibanding Gus Ipul-Anas. Ibaratnya, jika pasangan ini jadi kenyataan, maka Khofifah-Emil kali ini akan betul-betul menghadapi lawan tanding yang akan sangat sulit dikalahkan. Wakil Gubernur berpengalaman, ditopang Wali Kota yang namanya tidak hanya harum di Jawa Timur, bahkan berkibar di nasional dan dunia Internasional.

Namun, nampaknya harapan memasangkan Gus Ipul dengan Risma, tidak akan mudah mewujud. Selain Risma hingga saat ini, belum bersedia, juga ada penolakan dari warga Surabaya yang tidak ingin Ibu mereka meninggalkan kursi Wali Kota yang nyaris sempurna dimenangkan pada 2015 lalu.

Hemat saya, jika Risma hanya didorong menggantikan Anas sebagai cawagub, memang sebaiknya tidak usah saja. Jauh lebih bermanfaat Risma tetap menjadi Wali Kota Surabaya, menyelesaikan program-program pembangunan kota yang belum berhasil dirampungkan. Selesaikan sisa jabatan di periode akhir ini, yang masih 3 tahun lagi. Karena jabatan Wakil Gubernur, hanya sekedar jabatan pelengkap saja. Fungsinya hanya menggantikan tugas-tugas jika Gubernur berhalangan, atau pun paling jauh jika Gubernur “berbaik hati” memberikan kewenangan lebih lewat pembagian tugas.

Nah, disinilah saya fikir, ada baiknya PDIP berpikir ulang untuk mengusung Risma sebagai cawagub. Karena Risma bisa kehilangan potensinya untuk berkreasi, yang sudah terbukti berhasil, dalam menjalankan pemerintahan di Surabaya. Mungkin tak ada Kepada Daerah asal PDIP yang seberhasil Risma dalam mengelola daerahnya, sekaligus dicintai warganya.

Dengan kondisi itu, kenapa tidak sekalian saja PDIP mengusung Risma sebagai cagub, head to head dengan Gus Ipul? Tentunya dengan konsekuensi pecah kongsi dengan PKB. Rasanya ini lebih worth it, dibanding hanya sebagai pelengkap, cawagub.

Hitung-hitungannya tidak rugi PDIP usung Risma sebagai cagub.

Jika pun nanti kalah, Risma tidak harus meninggalkan kursi Wali Kota Surabaya. Karena sesuai pasal 7 ayat (2) hurup p Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Risma tidak wajib berhenti jika mencalonkan diri sebagai cagub/cawagub karena masih berada di Provinsi Jawa Timur. Sesuai pula dengan ketentuanĀ PKPU No. 9 Tahun 2016 pasal 4 ayat (1) huruf o angka (2) yang sudah dihapus, yang bunyinya “berhenti dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai calon bagi bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang mencalonkan diri sebagai Gubernur atau Gubernur di provinsi yang sama”

Dan kalau nanti Risma memenangkan Pilgub Jatim 2018, Surabaya tetap berada digenggaman PDIP, dimana Wakil Wali Kota saat ini adalah kader PDIP yang juga merupakan ketua PDIP Surabaya, Wisnu Shakti Buana.

Jadi tak ada ruginya PDIP mengajukan Risma sebagai Gubernur. Bahkan dengan hitungan-hitungan yang ada, Risma jauh lebih berpotensi mengalahkan Gus Ipul dibanding Khofifah Indar Parawansa. Apalagi Risma nyaris bisa diterima semua kelompok masyarakat. Dekat dengan Nahdliyin, juga rapat dengan Muhammadiyah. Tak berjarak dengan kelompok keagamaan lainnya.

Tapi, bagaimana dengan resistensi beberapa kelompok masyarakat Surabaya yang tak ingin Risma meninggalkan jabatannya sebelum berakhir?

Saya rasa, ini tidak terlalu sulit. Selama PDIP mampu meyakinkan Risma dan Risma bersedia dicalonkan sebagai cagub, maka kelompok-kelompok tersebut relatif lebih mudah diyakinkan. Toh tak ada satupun perundangan yang dilanggar.

Keberadaan Risma sebagai Gubernur Jawa Timur, dengan berlakunya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jauh lebih “power full” dibanding Wali Kota. Jauh akan lebih memberi manfaat, bahkan untuk kota Surabaya sekalipun.

Misal, sebagaimana kita ketahui bersama, sejak berlakunya UU 23/2014, maka kewenangan pengelolaan SLTA tidak lagi ada ditangan Risma sebagai Wali Kota. Seluruh program yang dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan arek-arek Suroboyo di tingkat SLTA, tidak dapat lagi dijalankan. Dengan Risma sebagai Gubernur Jatim maka bisa saja kemudian Risma mendelegasikan pengelolaan SLTA kembali ke Surabaya, dengan penugasan. Hal ini lebih mungkin diwujudkan jika Risma yang menjadi Gubernur, dibanding hanya sebagai Wagub.

Banyak lagi kewenangan Gubernur, yang jika Risma bisa mendudukinya, akan membantu Surabaya menjalankan program-programnya yang selama ini terkendala dilaksanakan karena belum adanya persetujuan Gubernur Jatim.

Jadi, kenapa tidak PDIP usung saja Risma menjadi cagub?

Dan dalam sisa 2 hari ini jelang pendaftara ke KPUD Jatim, berkonsolidasi dengan partai lain untuk memenuhi syarat mengusung calon, yaitu 20 kursi. Dengan jumlah kursi 19, rasanya tidak sulit bagi PDIP mencari teman koalisi, sekaligus mencarikan wakil untuk Risma.

Jika ini terjadi, maka PKB pun harus segera mencari partner koalisi baru. Dan Pilgub Jatim akan semakin menarik pestanya. Mari kita nikmati pesta demokrasi 5 tahunan ini dengan penuh kegembiraan, menanti lahirnya pemimpin baru, yang akan membuat Jatim lebih maju lagi.

 

Surabaya, 8 Januari 2018.

—-0000——

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here