Tulisan saya sebelumnya, yang dimaksud untuk menghentikan cacian dan fitnah yang ditujukan kepada lima orang Hakim MK terkait putusan Judicial Review (JR) permohonan Prof Sunarti dkk, alhamdulillah dapat diterima beberapa pihak. Namun tak sedikit juga yang tidak setuju, bahkan ada juga, di sosial media, malah balik mencaci-maki saya, bahkan dikatakan mendukung LGBT. Duh…. resiko berpendapat di Indonesia apalagi sosmed, ya begini ini. Harus siap dicaci maki…. hehe.
Karena penasaran ingin tahu tingkat pengetahuan warganet terkait KUHP, RUU KUHP, Pasal-pasal yang di JR, dan kedudukan putusan MK terhadap RUU KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR, maka saya lakukan survei kecil-kecilan lewat tools yang disediakan facebook dan twitter. (bisa dilihat surveinya di akun FB dan Twitter saya)
Hasilnya ternyata seperti dugaan saya. Persoalan ini karena ketidak-tahuan, yang penyebabnya bisa dipastikan kurang membaca atau bisa jadi juga karena memang kurang tersedia informasi yang seharusnya disediakan pemerintah dan atau DPR.
Hasil survei dan analisa telah saya tulis di stasus Facebook saya. Karena permintaan beberapa teman, saya salin ke blog ini.
Monggo…..
=====================
Ternyata, baik survei di Twitter maupun FB, warganet mayoritas TIDAK TAHU bahwa sudah puluhan tahun KUHP peninggalan Londo yang kita pakai hingga sekarang itu, mau diperbaharui sesuai norma di masyarakat kita sendiri, bukan Norma masyarakat Londo yang misal tidak permasalahkan kumpul kebo dan orientasi seksual (LGBT), tapi selalu gagal.
Dari survei itu juga “kamu ketahuan”, ternyata TIDAK TAHU bahwa sudah sejak 2012 pemerintah secara resmi telah ajukan RUU KUHP ke DPR. Dan sejak 2013 sudah masuk Prolegnas. Tapi hingga DPR berganti tidak juga selesai dibahas. Bahkan DPR periode ini (2014-2019) yang juga akan segera berakhir, ternyata RUU KUHP itu juga belum GOL jadi UU.
Ayo rek, kalian kenapa tidak kritisi DPR koq malah maki-maki MK? Dibujuki awak mu ambek politisi (yang ikut-ikut kritisi MK, maksud te) yang sudah mau berakhir tugasnya tapi ndak juga selesaikan RUU KUHP. Hehe nemen yo….
Dari survei itu juga aku baru sadar rek. Ternyata awak mu juga ndak tahu bahwa pasal yang dimohonkan JR ke MK (dimohon tahun 2016 diputus 2017) oleh prof Sunarti dkk itu ternyata TIDAK DIAKOMODIR di RUU KUHP (diajukan 2012, sampai sekarang 2017, ndak selesai-selesai).
Pasal zina di RUU KUHP tetap merupakan delik aduan bukan delik biasa, seperti harapan prof Sunarti dkk. Jadi kalau RUU KUHP itu disahkan, polisi tetap tidak bisa menangkap orang “indehoy” di hotel, bukan suami istri, tanpa aduan dari masyarakat (atau yang tercemar).
Awak mu ternyata BARU TAHU dan sadar yo? Bahwa di RUU KUHP yang dibahas di DPR sejak 2013 tersebut, pasal perkosaan tetap hanya mencantumkan bila korbannya perempuan. Jadi lelaki yang diperkosa bukan pidana kata RUU KUHP yang sekarang sedang dibahas di DPR. Lha ternyata bertolak belakang toh dengan gugatan prof Sunarti dkk?
Pasal pencabulan sejenis (LGBT), di RUU KUHP ternyata juga masih mensyaratkan korbannya adalah anak usia dibawah 18 tahun. Dan tidak ada juga di RUU KUHP itu pasal yang mempidana hubungan sejenis jika suka sama suka, yang dilakukan orang yang telah dewasa. Lha piye rek?
Dan ternyata dari survei yang saya lakukan tersebut, ini YANG PALING FATAL. Warganet baru sadar bahwa apapun keputusan MK terkait JR itu kemarin, nyaris tidak ada guna. Karena pasal-pasal asusila dan LGBT yang akan berlaku nanti adalah pasal di RUU KUHP yang akan disahkan DPR. Bukan putusan MK. Wong KUHP nya baru.
Kalau ada yang masih ngeyel katakan bahwa keputusan MK penting agar waktu bahas RUU KUHP bisa dijadikan “yurisprudensi” oleh DPR. Yang katakan demikian, mohon maaf, kalian sedang dibujuki POLITISI (yang berargumen demikian). Ingat soal Presidential Threshold (PT) di UU pemilu? Betapapun sudah ada keputusan MK bahwa pemilu itu serentak dan secara logis tidak perlu ada PT, tapi di UU pemilu yang baru disahkan tersebut tetap dimasukkan pasal PT kan? Yang ndak setuju pasal PT silakan gugat ke MK… Hehe.
Artinya apa?
Bahwa pembuatan UU itu KEPUTUSAN POLITIK di DPR sebagai lembaga Positive Legislation, jadi sangat tergantung pertarungan politik disana. Bukan tergantung putusan MK sebagai lembaga Negative Legislation….. (Ndak urusan!!, kata politisi diam-diam hehe)
Jadi rek, berhentilah salahkan MK yang sudah jalankan tugasnya dengan benar (walau kita kecewa), berhentilah caci maki mereka, berhentilah fitnah mereka, atas apa yang tidak sama sekali mereka lakukan. Sekarang fokuslah ke DPR yang sudah sejak 2013 membahas RUU KUHP tidak selesai-selesai.
Dan gunakan kesempatan ini untuk menilai; politisi dan partai apa sesungguhnya yang berjuang menyerap aspirasi masyarakat, menyerap norma-norma yang hidup ditengah masyarakat, dan norma-norma agama yang dianut masyarakat, untuk dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
Alihkan mata dan telinga ke DPR (dan pemerintah). Lihat dan dengarlah siapa sesungguhnya yang membiarkan pasal-pasal LGBT TIDAK MASUK ke RUU KUHP. Siapa sesungguhnya yang mengatakan LGBT BUKAN PIDANA.
Nanti sampeyan akan lihat, politisi dan partai apa yang selama ini TIDAK BERJUANG memasukkan pidana LGBT dan asusila lainnya seperti yang dimohonlan prof Sunarti dkk, ke RUU KUHP. Selama ini sampeyan semua TIDAK TAHU kan ada pertarungan di DPR?
Lanjut rek
5. Tahukah anda bahwa dlm draft RUU KUHP 2012 tsb, terkait pasal perkosaan (psl 488 RUU KUHP) seperti yg dimohonkan Prof Sunarti dkk, ternyata masih mencantumkan korbannya hanya perempuan?— Ferry Koto (@ferrykoto) 18 Desember 2017
Nanti sampeyan juga akan melihat politisi dan partai apa yang betul-betul memperjuangan agar norma-norma yang hidup ditengah masyarakat dimasukkan ke RUU KUHP.
Jika sudah tahu masing-masing politisi dan partai itu, maka beri “reward” lah mereka nanti di 2019. Yang tidak berjuang masukkan pasal LGBT, kasih hukuman, sementara yang berjuang masukkan pasal LGBT coblos partai nya, jadilakan mereka wakil kita di DPR..
Terakhir rek….
Nanti misal, kalau pejuang-pejuang kita di DPR berhasil memasukkan pasal pidana LGBT ke RUU KUHP dan disahkan jadi UU, maka bisa dipastikan akan ada “pro LGBT” yang akan menggugat ke MK. Nah disaat itulah kita baru boleh menilai, apakah Hakim MK itu memutuskan bahwa “LGBT dan kumpul kebo bukan pidana”, atau memutusakan hal itu pidana. Saat itulah baru boleh kalian caci maki Hakim MK, jika ada yang menerima JR para “Pro LGBT”,…
Begitu rek !!
Paham ya? Jangan lagi sampeyan mau dibujuki untuk ikut-ikut nuding MK, salah-salah kan MK, dan ribut ke MK yang sudah jelas putusannya final, walau langit runtuh sekalipun. Padahal “koenci” pasal-pasal LGBT dan asusila yang dimohonkan Prof Sunarti itu sesungguhnya ada di DPR (dan pemerintah sebagai pengusul).
Semoga paham dan tidak dibujuki terus rakyat Indonesia ini. 🙏🙏🙏