Kondisi Indonesia saat ini mungkin adalah kondisi terburuk dalam hal berprasangkanya rakyat pada Pemerintahan negaranya sendiri. Prasangka negatif yang penuh kecurigaan, tidak hanya ke Presiden juga pada DPR. Inilah buah dari Pilpres yang hanya memunculkan dua orang capres berhadap-hadapan, yang pada akhirnya juga membelah rakyat menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan.

Sejak Pilpres 2014, negara ini, utamanya rakyatnya, terlihat nyata “terbelah” pada kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Padahal Pilpres sudah 3 tahun usai. Bahkan sebentar lagi, tidak sampai dua tahun, kita akan kembali adakan Pilpres.

Kondisi ini, juga ada kekeliruan Jokowi sebagai Presiden, yang tetap mempertahankan Relawan Jokowi usai Pilpres lalu. Keberadaan Relawan Jokowi ini yang akhirnya memicu kelompok-kelompok yang tidak mendukung Jokowi di masa Pilpres, mengkonsolidasi diri dan menjadi “oposisi rakyat” yang nyata berseberangan dengan Jokowi, dalam hal apapun. Ini terlihat nyata sekali di sosial media.

Jika kelompok Relawan Jokowi “cinta mati” ke Jokowi, membela membabi-buta apapun kebijakan Jokowi, bahkan dengan tanpa dosa beberapa kali klaim sesuatu sebagai prestasi Jokowi walau faktanya itu sama sekali bukan karya Presiden Jokowi, maka kelompok rakyat yang “oposisi” pada Jokowi berlaku sebaliknya. Apapun kebijakan Jokowi salah saja dimata kelompok ini, bahkan sebuah peristiwa yang tidak ada hubungan dengan Jokowi sebagai Presiden pun, dikait-kaitkan dengan Jokowi.

Soal Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ditolaknya Judicial Review (JR) Prof Euis Sunarti dkk salah satu contohnya.

Setelah sebelumnya, beberapa pihak memaki-maki dan bahkan memfitnah Hakim MK dengan tuduhan melegalkan LGBT dan kumpul kebo, walau nyata tidak ada di keputusan MK yang bunyinya demikian. Kini “oposisi rakyat” mulai mengaitkan keputusan MK dengan Presiden Jokowi.

Di sosial media dan pembicaraan di warung-warung kopi, sudah berseliweran yang mengatakan “Inilah bahayanya rezim Jokowi, sekarang LGBT dan Kumpul Kebo tidak bisa dipidana”. Dikesempatan lain, di status sosial media, di akun-akun “oposisi Jokowi”, kita juga bisa membaca; “Hanya di rezim ini (Jokowi), LGBT dan Kumpul Kebo tidak bisa dipidana”.

Duh,…. betapa terbelahnya rakyat kita.

Tak pikir-pikir, kasihan juga jadi Presiden seperti Jokowi. Ndak tahu apa-apa, malah ikut disalah-salahkan.

Tuduhan pada pemerintahan Jokowi ini umumnya dikait-kaitkan dengan keberadaan Hakim MK, terutama posisi Prof Saldi Isra yang memang merupakan Hakim MK dari usulan pemerintah.

Mari kita tinjau bersama-sama kembali terkait pasal 284, 285 dan 292 KUHP yang di JR oleh Prof Sunarti dkk ke MK yang akhirnya permohonannya ditolak. Apakah betul ada kaitannya dengan Jokowi sebagai Presiden putusan MK tersebut, agar kita tidak semakin keliru.

Pertama, terkait Hakim MK. Perlu diketahui Mahkamah Konstitusi itu adalah salah satu dari 9 lembaga tinggi negara yang mendapatkan kewenangan dari Konstitusi (UUD 45 hasil amandemen). Yang kedudukannya sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Yudisial (KY).

MK tidak berada dibawah Presiden dan bukan bagian dari pemerintah (eksuktif). MK adalah lembaga Yudikatif yang merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain. MK sederajat dan sama tinggi dengan MA (Jimly Asshiddiqie).

Jadi sangat keliru jika dalam posisi ini menuduh MK adalah bagian dari “rezim” Jokowi. Menuduh keputusan MK adalah keputusan rezim Jokowi. Karena senyatanya MK tidak dapat diintervensi oleh Presiden dan tidak berada dibawah Presiden.

Seluruh keputusan MK adalah kewenangan MK dan tanggungjawab MK sendiri, yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah. Kalaupun dalam persidangan MK pemerintah dihadirkan, itu karena pemerintah adalah ko-legislator dalam pembentukan suatu UU dan sebagai pelaksana UU. Sebagaimana DPR selalu dihadirkan dalam sidang MK sebagai lembaga pembentuk UU untuk didengarkan keterangannya.

 

Kedua, ada yang mengaitkan keberadaan beberapa sosok Hakim MK sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Terutama terkait keberadaan Prof Saldi Isra yang memang dipilih sebagai Hakim MK saat era Jokowi. Namun sekali lagi ini juga hal yang keliru jika dikait-kaitkan dengan keputusan MK. Karena Pemerintah hanyalah sebagai salah satu dari 3 lembaga pengusul calon Hakim MK, selain DPR dan MA.

Sembilan Hakim MK berasal dari usulan Presiden 3 orang, DPR 3 orang dan MA 3 orang. Jadi kalau Keputusan MK dikaitkan karena Hakim MK atas usulan Presiden, maka hanya 3 orang yang ada kaitannya dengan Presiden, padahal pada putusan yang lalu, ada 5 Hakim yang memutuskan menolak JR dan akhirnya menjadi keputusan MK.

Kelima Hakim MK yang menolak JR yang berasal dari pengusulan Presiden adalah; Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna. Sementara M. Sitompul, dan Suhartoyo adalah Hakim MK dari usulan Mahkamah Agung.

Bahkan jika diteliti lagi, 3 orang Hakim MK usulan Presiden tersebut, tidak semuanya usulan Presiden Jokowi. Prof Maria Farida adalah Hakim MK usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jadi jika dikaitkan dengan pengaruh karena sebagai pengusul, maka hanya 2 dari 5 Hakim MK yang merupakan usulan Presiden Jokowi.Β Malah satu orang Hakim MK adalah usulan dari Presiden SBY. Masa Presiden ke-6 SBY ikut-ikut mempengaruhi Hakim MK? …. πŸ™‚

 

Ketiga, sesungguhnya rezim saat ini, era Jokowi, jika kita melihat fakta yang ada di KUHP yang berlaku saat ini, maupun RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR, justru tidak ada jejaknya mendukung LGBT. Harus kita akui itu dengan jujur.

KUHP saat ini adalah peninggalan kolonial, bukan dibuat era pemerintahan Indonesia merdeka, apalagi era Jokowi. Pasal-pasal yang ada di dalam KUHP tersebut, seperti pasal zina yang hanya mempidana bila pelakunya terikat perkawinan bukan diserap dari norma masyarakat Indonesia, tapi norma yang hidup di Belanda.

Di negeri kincir angin tersebut, orang berzina itu dikatakan domain privat yang tidak boleh orang lain mencampurinya selama yang melakukan suka sama suka. Berbeda dengan norma yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang agamais.

Juga terkait pasangan sejenis (pasal 292 KUHP), yang dikaitkan jika perbuatan cabul itu terjadi hanya pada anak, tidak berlaku pada sesama orang dewasa. Ini juga norma di masyarakat Belanda, “Anda mau LGBT selama suka sama suka dan bukan dengan anak dibawah umur, maka itu urusan anda, negara tidak boleh turut campur”.

Nah KUHP Londo itulah yang kita pakai hingga saat ini. Dan KUHP yang tidak mempidana kumpul kebo (pasal 282), yang katakan perkosaan itu hanya bila korbannya perempuan (pasal 285) dan yang mengatakan pidana pencabulan sejenis itu hanya jika terjadi pada anak (pasal 292) ini lah yang berlaku selama ini.

Artinya, bukan karena keputusan MK hal-hal tersebut tidak bisa dipidana, tapi karena memang aturan di KUHP itu demikian. Dalam hukum pidana berlaku asas bahwa tidak ada pidana jika tidak ada aturannya (asas Legalitas).

Karena hukum Londo yang tidak sesuai dengan norma masyarakat Indonesia itulah pemerintah Indonesia berusaha merubahnya. Berpuluh tahun usaha merubah KUHP itu selalu gagal. Baru tahun 2012 masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah berhasil membuat RUU KUHP yang diketuai Prof Muladi, dan mengajukannya ke DPR untuk dibahas dan disahkan jadi UU. Yang sayangnya hingga hari ini, sudah hampir 5 tahun, tak kunjung juga diundangkan.

Nah, sampai disini kita bisa melihat, nyaris tak ada sama sekali jejak Presiden Jokowi baik dalam KUHP yang berlaku maupun dalam RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR, yang bisa dituduhkan sebagai pendukung LGBT dan kumpul kebo.

Dan tahukah anda semua, bahwa di RUU KUHP usulan masa Presiden SBY tersebut, justru tidak ada pasal-pasal yang mempidanakan LGBT. Artinya nyaris sama dengan KUHP peninggalan Belanda terkait LGBT. Dalam RUU KUHP tersebut, pencabulan sejenis tetap mengatakan pidana jika terjadi pada anak usia dibawah 18 tahun. Dalam RUU KUHP tersebut, perkosaan tetap jika korbannya perempuan, sama persis dengan KUHP Londo. Juga dalam RUU KUHP itu, zina tetap bukan delik biasa, sama saja dengan KUHP Londo, harus delik aduan.

Jadi, apakah rezim SBY mendukung LGBT? karena tidak memasukkan pidana LGBT ke RUU KUHP yang saat ini dibahas di DPR?

Tentu tidak bisa semudah itu menuduh rezim SBY, karena RUU KUHP itu baru draft yang disusun oleh para ahli hukum khususnya Pidana, yang masih harus dibahas lagi dengan DPR yang nanti akan menyerap aspirasi rakyat.

=============

Demikian sedikit gambaran, terkait Hakim MK, putusan MK dan KUHP serta RUU KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR. Intinya tidak tepat kita menuduh rezim saat ini sebagai pendukung kumpul kebo dan LGBT dari fakta-fakta yang ada.

Bukan berarti saya membela rezim ini, karena urusan membela Jokowi itu domainnya “Relawan Jokowi”, saya kan “mantan Relawan Prabowo”…. πŸ™‚

Hemat saya, jika ingin tahu siapa atau partai apa yang mendukung LGBT dan kumpul kebo, maka mari alihkan perhatian ke DPR RI. Perhatikan pembahasan RUU KUHP yang sedang alot disana. Perhatikan siapa orang-orang yang menolak memasukkan pasal-pasal pidana LGBT ke RUU KUHP, dan partai apa yang keukeh menolak pasal-pasal zina diatur dalam RUU KUHP.

Nah, jika anda sudah melihat pertarungan di DPR, nanti ujungnya bolehlah menyimpulkan, partai apa pendukung LGBT dan partai apa penentang LGBT. Setelah itu, monggo hukum mereka sesuai amal perbuatannya. πŸ™‚

Bayangan saya, alangkah bagusnya jika MUI atau GNPF Ulama adakan aksi-aksi juga menekan DPR dan Pemerintah memasukkan pasal-pasal zina yang diperluas dan LGBT ini. Kerahkan jutaan ummat untuk “kepung DPR dan Pemerintah” di Jakarta, agar sahkan RUU KUHP sesuai dengan norma-norma yang hidup di masyarakat, dan sesuai dengan norma agama yang dianut masyarakat. Berani?

===

Akhirnya, kalau boleh pesan, janganlah tuduh-tuduh pak Jokowi terus. Kasihan Pak Jokowi, makin kurus beliau nanti, jika dituduh-tuduh atas apa yang tak dilakukan. Dan Pak Tifatul terpancing untuk membaca doa gemuk kembali. Dan Indonesia ribut kembali gara-gara doa yang maksudnya baik itu.Β  πŸ™‚

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here