Walau pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan berlangsung tahun 2017, tahun depan, tapi keriuhannya sudah mulai terasa sejak awal tahun 2016. Lebih-lebih dalam rangka menyongsong Pilkada di DKI Jakarta, keriuhannya tidak hanya melibatkan warga Jakarta, tapi melintas-batas hingga ke daerah lain di Indonesia.
Dalam Pilkada DKI 2017 nanti, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI saat ini, berancang-ancang untuk kembali memperebutkan kursi DKI-1. Ahok yang mendeklarasikan maju dari jalur Independen diprediksi akan berhadapan dengan beberapa kandidat yang juga sudah mendeklarasikan diri akan ikut bertarung memperebutkan kursi DKI-1. Diantara kandidat tersebut; Mantan Mensesneg Yusril Iza Mahendra, Ketua Kwarnas Pramuka Adhyaksa Dault, pengusaha Nasional yang juga politisi Gerindra Sandiaga Uno dan musisi Indonesia Ahmad Dhani.
Salah satu yang menarik dari keriuhan menyambut Pilkada DKI adalah munculnya kampanye yang diusung oleh pendukung Ahok dengan tema “Jangan Bawa-bawa Agama Dalam Memilih Pemimpin“. Kampanye ini masif bisa kita lihat di social media, terutama di twitter dan facebook, selain juga melalui situs berita nasional yang mengutip pernyataan tokoh-tokoh nasional, yang pada intinya menghimbau “Jangan Bawa-bawa Agama Dalam Memilih Pemimpin“.
Nampaknya kampanye ini sengaja dirancang pendukung Ahok dengan tujuan para pemilih di DKI yang notabene mayoritas Muslim tidak melihat latar belakang agama sebagai pertimbangan dalam memilih Gubernur DKI. Bahkan Pendukung Ahok menggunakan kampanye ini menyerang pihak-pihak yang membawa isu agama dalam memilih Gubernur DKI, seperti perintah pada ummat Muslim yang diwajibkan memilih pemimpin dari kalangan Muslim (QS ALI IMRAN : 28).
Kampanye semacam ini sebenarnya sudah sering muncul, bahkan saat Pilpres 2014. Kampanye ini seolah menegaskan bahwa membawa-bawa agama sebagai sesuatu tindakan yang tidak tepat dalam memilih pemimpin di Indonesia, beberapa dengan percaya diri mengatakan, “tidak pada tempatnya membawa isu agama dalam memilih Pemimpin di Indonesia yang pluralis !!”
Tapi apakah benar dalam memilih pemimpin di Indonesia kita sebaiknya tidak membawa-bawa agama?
Dengan tegas saya bisa katakan, sesungguhnya pihak yang mengkampanyekan “Jangan Bawa-bawa Agama Dalam Memilih Pemimpin” sangat keliru, bahkan bisa dikatakan tidak memahami bahwa di Indonesia justru harus membawa-bawa agama dalam memilih pemimpin.
Bukan saja karena negara kita berdasarkan Pancasila yang mencantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, tapi lebih dari itu, membawa-bawa agama dalam memilih pemimpin, sesungguhnya adalah Perintah Undang-undang !!
Ya, perintah UU, yang sangat jelas dan tegas dicantumkan dalam UU Pemilihan Kepala Daerah bahkan di UU Pilpres sekalipun. Perintah itupun juga terdapat dalam UU yang mengatur pemilihan legislatif dan lembaga tinggi negara lainnya.
Mari kita lihat disatu saja UU yang mengatur pemilihan Pemimpin di Indonesia, yaitu UU Nomor 1 tahun 2014 sebagaimana telah dirubah didalam UU Nomor 18 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Di Bab III, Persyaratan Calon, pada pasal 7 butir a sampai dengan butir u, dicantumkan persyaratan warga Indonesia yang dapat menjadi calon Gubernur, calon Bupati dan calon Walikota. Seorang calon harus memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan dalam pasal tersebut, baru berhak diusung sebagai calon, baik melalui partai politik maupun lewat jalur independen.
Secara khusus mari kita perhatikan Pasal 7 butir a, yang mencantumkan syarat seorang calon haruslah orang yang “Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Syarat ini sama mutlaknya dengan syarat lainnya, seperti berpendidikan minimal SLTA (c), berusia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan 25 tahun untuk Bupati/Walikota (e).
Pasal 7a ini dengan specifik menyebutkan seoarang calon Kepala Daerah, tidak saja harus beragama dengan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, tapi juga dengan khusus mengatakan harus BERTAKWA !
Apa arti takwa ?
Mari kita lihat arti kata TAKWA yang saya ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, disini (www.kbbi.web.id/takwa);
takwa1/tak·wa/ n 1 terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; 2 keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; 3 kesalehan hidup;
Dari definisi kata TAKWA tersebut jelaslah bahwa TAKWA merupakan kata yang mendeskripsikan suatu kondisi dimana orang beragama yang menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Dalam hal pasal 7a UU nomor 1 tahun 2014, TAKWA yang dimaksud tentu sesuai dengan agama yang dianut masing-masing calon Kepala Daerah.
Oleh karenanya sangat jelaslah dalam UU ini memerintahkan setiap calon harus memenuhi syarat teratas, yang pertama sekali,; calon harus beragama. Dan dengan tegas dinyatakan tidak hanya sekedar beragama tapi juga haruslah orang yang BERTAKWA sesuai ajaran agama yang dianut.
Syarat TAKWA ini sama harus dipenuhinya seperti persyaratan seorang calon Kepala Daerah harus berpendidikan minimal SLTA, haruslah berumur minimal 30 tahun untuk Gubernur dan 25 tahun untuk Bupati/Walikota.
Untuk mengetahui bahwa seoarang calon adalah orang yang bertakwa, tentu tidak bisa digunakan variable penilaian ketakwaan yang sama antara agama Islam, Kristen, Hindu, Budha atau agama lainnya. Agama Islam memiliki perintah dan larangan yang tentu ada perbedaan dengan agama lainnya.
Dalam ajaran Islam, sorang Muslim dilarang meminum khamar, minuman beralkohol, maka bila seorang Muslim melanggar larangan ini, maka ia termasuk gologangan yang TIDAK BERTAKWA. Dalam konteks persyaratan calon Kepala Daerah di pasal 7a, maka orang tersebut tentu tidak memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah, karena ia tidak bertakwa sebagai seoarang Muslim. Demikian juga ketakwaan versi ajaran agama Kristen, Hindu, Budha dan lainnya.
Nah, disinilah sesuai perintah UU, kita harus membawa-bawa agama dalam memilih pemimpin. Karena UU mengharuskan kita mengkonfirmasi, apakah seorang calon adalah orang yang bertakwa sesuai ajaran agama yang ia anut. Tentu seoarang Muslim tidak bisa menggunakan ajaran Islam untuk mengukur ketakwaan seoarang Kristian misalnya, demikian juga sebaliknya.
Jadi sudah benarlah sesungguhnya bahwa jika ada ummat Muslim yang kampannyekan agar memilih Pemimpin dari kalangan ummat Muslim sendiri. Kampanye semacam itu bukan hanya karena perintah agama Islam, tapi juga secara tegas diperintahkan oleh Undang-undang. Dan kampanye semacam ini sesungguhnya sah juga dilakukan oleh ummat beragama lain, karena siapapun calon dari kalangan mereka haruslah orang yang bertakwa sesuai agama yang mereka anut.
Sebagai sebuah prasyarat, tentunya masyarakat menjadi punya peluang untuk menguji bahkan menggugat seorang calon yang dinyatakan lolos, apakah benar-benar orang yang bertakwa sesuai ajaran agamanya. Tentu akan aneh, jika ada seoarang calon diterima pencalonannya, sementara perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agama yang ia anut, misal suka memaki dan berkata-kata kotor tanpa etika. Agama apa yang mengajarkan boleh memaki-maki dan berkata kotor ?
Dengan demkian, pihak-pihak yang kampanyekan “Jangan bawa-bawa agama dalam memilih pemimpin”, semoga segera mengakhiri kampanyenya, karena secara nyata, kampanye semacam itu bertentangan dengan perintah Undang-undang.
Di Indonesia tdak bisa terlepas dari persoalan Agama dalam memilih pemimpin, bagaimana mungkin seorang pemimpin yang tidak bergama memimpin masyarakat yang beragama. didalam agama islam tidak boleh memilih pemimpin diluar agama islam . di indonesia yang paling layak untuk menjadi pimpinan negara tentu tentu yang beapaga islam karena mayoritas islam demikian juga di Jakarta yang penduduknya mayoritas islam ini bukan persoalan sara tapi soal kepantasan . kenyataan dimana-mana yang mayoritaslah paling pantas memimpin bukan yang minoritas dilihat dari etika. pada pokoknya Agama harus persyaratan utama dalam memilih Pemimpn
Saya tidak yakin komentar saya akan dipublikasikan. Tapi kalau anda membaca, minimal sudah cukup lah.
Saya hanya mau memberikan satu counter terhadap logika yang dipakai di artikel ini: kalau omong kasar dan kotor itu indikasi Ahok tidak bertakwa sesuai ajaran agama, lalu bagaimana dengan para bakal calon gub DKI yang semuanya mengaku muslim namun sekarang terseret kasus korupsi semua? Apakah umat muslim diharuskan memilih pemimpin yang demikian? Saya sangat tidak berkeberatan orang muslim memilih pemimpin non muslim. Tapi kalau dalam keadaan sekarang, kenyataannya di lapangan adalah pilihannya orang kafir bermulut kotor tapi sudah nampak terbukti bekerja sekuat tenaga menyejahterakan rakyat, atau orang muslim tapi berjiwa koruptor, kira-kira rakyat harus milih yang mana? Masih tetap harus milih para koruptor? Biarlah hati nurani anda sendiri yang menjawab, karena kenyataannya di pilkada DKI mendatang pilihannya cuman 2 itu.