Hasan al-Bishri, salah seorang sufi terbesar dalam sejarah Islam, seorang ahli hikmah berpesan pada anaknya; “wahai anakku ! Seandainya Engkau memilih akar untuk tempatmu bergantung, pilihlah akar yang menjalar ke tanah, karena ia akan terus hidup dan berkembang, dan jangan Engkau pilih akar yang hanya menggantung diatas, karena ia akan terputus, dan tidak akan kuat diterpa angin. Ia hanya pandai melenggak lenggok menebar pesona, tetapi setelah dijadikan tempat bergantung ia akan runtuh ke bumi, dan Engkau pun tersungkur berlumur debu penuh penyesalan.”
Walaupun tamsil ahli hikmah di atas begitu ringkas, tetapi memiliki makna yang dalam untuk diresapi sebagai sebuah ajaran kehidupan bermasyarakat dalam memilih Pemimpin. Karena sebagai seorang yang akan dijadikan tempat bergantung dan berlindung Pemimpin adalah akar tempat bergayut. Bergayutlah dengan akar yang mengakar, dan jangan bergayut kepada akar yang hanya tergantung tapi tidak punya pijakan di bumi.
Pemimpin adalah akar tempat bergayut, sekali salah memilih tempat bergantung akan banyak resiko yang harus ditanggung. Memilih pemimpin harus lah orang yang dalam perjalanan kehidupannya punya catatan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat bawah yang menjadi basis kehidupan sosial dalam arti sesungguhnya. Pemimpin yang mengakar hingga kelapisan masyarakat terbawah bukan Pemimpin yang hanya menggantung kepada kaum elit , yang pada umumnya hanya pandai bermanis mulut menarik simpati untuk meraih keuntungan pribadi atau membela kelompoknya.
Memilih seorang pemimpin bisa dimulai dengan mengukur sejauhmana keberpihakan yang telah ditunjukan kepada masyarakat kecil, kepada masyarakat bawah, yang berada disekitarnya. Keberpihakan ini bisa dilihat dari sejarah perjalanan hidupnya kebelakang, bukan keberpihakan semu yang dipertontonkan atau diutarakan pada saat saat sedang Kampanye, pada saat sedang mempromosikan diri untuk dipilih sebagai pemimpin tempat bergantung.
Secara Sosiologis, pemimpin yang akan dipilih adalah pemimpin yang hatinya ada di rakyat, dan hati rakyat juga ada di hatinya.
Secara Materi, fondasi ekonominya kuat, sehingga jabatan bukan untuk mencari makan, tetapi untuk pengabdian.
Secara Religi, imannya kuat, sehingga jabatan dimaknai ujian, dan bukan kesempatan.
Secara Moral, akhlaknya baik, sehingga jabatan menjadi cermin bagi rakyat untuk mengaca diri.
Secara Visi, pandangannya jauh ke depan, sehingga jabatan tidak untuk kenikmatan, tetapi untuk kemaslahatan dan kebahagiaan.
Secara Budi, jiwanya halus, sehingga jabatan berjalan dalam kearifan, dan bukan dengan kebebalan, tahu bertanggangrasa, pandai membalas budi, mau diberi nasehat.
Secara Akali ilmunya dalam, sehingga jabatan berjalan tepat sasaran dan tidak asal-asalan, tahu mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan.
Secara Jasadi badannya kuat dan jiwanya sehat, sehingga jabatan untuk melindungi dan bukan dilindungi, jabatan untuk menuntun dan bukan untuk dituntun.
Pemimpin tetap berjiwa besar, walau kecaman silih berganti. Tidak pernah cengeng walau sering dicuai. Tidak mau mencaci, walau sering kena caci.
Sabar hiasan dirinya, tegar kekuatan jiwanya, rendah hati senjata batinnya, dan takwa kepada Allah denyut nadi semua kebijakannya.
Keberpihakan Calon Pemimpin Sejati kepada Rakyat Kecil adalah keberpihakan yang tulus yang telah menjadi darah dagingnya dan bukan keberpihakan politis yang penuh kepura puraan dan janji janji palsu, persis seperti akar yang menggantung yang melambai lambai menggoda, yang jika nanti dijadikan tempat bergantung maka ia akan runtuh, ia akan putus, dan rakyat kecil akan tersungkur penuh penyesalan.
Janji seorang calon pemimpin sejati adalah janji yang keluar dari nurani yang akan ditepatinya, seberat apapun resiko yang akan dihadapinya nanti dalam mewujudkan janji tersebut. Calon pemimpin sejati menghadang badai untuk setiap janji yang diucapkannya, sementara calon Pemimpin “pura pura sejati” menyimpan ketakutan untuk setiap apa yang diucapkannya.
Pemimpin sejati yang bertemu badai ditengah kepemimpinannya akan tetap berdiri tegak menghadapi segala resiko sebagai akibat pilihannya menerima amanah kepemimpinan dari rakyat, dengan tujuan semata untuk menyelamatkan rakyat yang bergantung pada kepemimpinannya. Sementara Pemimpin palsu akan lari menyelamatkan diri dan membiarkan rakyat yang telah mengamanahinya jatuh diterpa badai, tenggelam ditimpa bencana.
Jadi pilihlah pemimpin sejati yang mengakar hingga ke masysarakat bawah sehinggan bisa dijadikan tempat bergantung.
#Memilih Pemimpin dalam PILKADA JAWA TIMUR , dan Pemilu Legislatif 2014
Disarikan dari Tulisan Prof. Dr. Alaiddin Koto, MA “Islam dan Kepemimpinan di Indonesia”